“TERGORESNYA
KASIH SAYANG”
Ada
sebuah keluarga kecil yang beranggotakan ayah, ibu dan kedua anaknya hidup di sebuah desa tidak jauh dari kota.
Mereka hidup serba kekurangan, setiap hari ibunya memeras keringat untuk
menafkahi keluarga, tanpa ada keluhan sedikitpun yang keluar dari mulutnya.
Dengan penghasilan yang pas-pasan terus dia jalani setiap hari. Itulah mungkin
kehendak yang Kuasa, mereka ditakdirkan hidup serba kekurangan sekalipun mereka
telah berusaha sekuat tenaga. Latar belakang pendidikan mereka sangat rendah
bahkan tidak tamat SD karena mereka keturunan orang yang lemah alias miskin
harta. Namun tentang ibadah dan cita-cita mereka perlu kita acungi jempol,
sekalipun mereka hidup demikian adanya.
Ibunya terpaksa melakukan hal itu karena ayahnya sudah kurang lebih satu
tahun menderita sakit ganas yang
akhirnya meninggal dunia.
40 hari setelah meninggal ayahnya
keluarga tersebut selalu dilanda kemiskinan, anaknya yang sulung selalu
membantu ibunya mencari nafkah keluarga. Dia sangat sayang kepada ibu dan
adiknya, dengan senang hati selalu
meluangkan waktu untuk meringankan beban orang tuanya, mengasuh adiknya
dengan penuh kasih sayang.
Suatu hari si sulung dengan nama
“SHODIK” menjual gorengan dagangan ibunya di sekitar alun-alun yang biasa ramai
dikunjungi orang. Sesekali dagangannya laris manis , akan tetapi tidak jarang
pulang dengan membawa uang yang tidak kembali modal karena sepinya pembeli,
padahal malam itu harusnya dia belajar mempersiapkan diri untuk menghadapi ulangan
IPA besuk pagi. Dengan sangat terpaksa si Shodik tidak belajar karena pulang
dari berjualan kondisinya sudah ngantuk, demikian juga di pagi harinya dia
harus bangun pagi-pagi membantu ibunya untuk menyiapkan dagangannya sambil
mengasuh adiknya yang belum genap berusia 1 tahun. Hal itu dia jalani dengan
senang hati tanpa mengeluh sedikitpun, mungkin dia telah menyadari akan keadaan
keluarganya dan memang dia sudah terlatih sejak ayahnya masih dalam keadaan
sakit. Dia sudah terbiasa membantu ibunya mencari nafkah.
Pagi itu sebelum berangkat sekolah
Shodik selain mengasuh adiknya dia juga membantu ibunya mengupas ketela, pisang
dan semua barang dagangannya (gorengan). Setelah semuanya beres baru dia
berkemas-kemas untuk berangkat sekolah. Dia selalu sarapan pagi dengan lauk
seadanya karena itulah nasehat ibunya untuk menjaga kondisinya agar tetap sehat
dan vit. Sekalipun hidup serba kekurangan, ibu dari kedua anak tersebut selalu
memperhatikan terhadap kesehatan kedua anaknya. Boleh dikata dia adalah sosok
seorang ibu yang penuh tanggungjawab dan menyayangi keluarga. Sekalipun dia
hidup serba kekurangan namun dia tetap bercita-cita dan berusaha keras untuk
dapat menyekolahkan anaknya sampai Perguruan Tinggi dengan harapan kelak
anaknya menjadi anak yang sholeh berguna bagi agama nusa dan bangsa, dan kelak
mampu mengangkat tinggi derajad orang tuanya serta dapat memperbaiki taraf
hidup keluarga. Karena dia percaya bahwa Allah tidak akan membebani suatu kaum
, kecuali sesuai dengan kemampuannya dan sebagai hamba Allah yang beriman dan
bertaqwa dia selalu mencamkan itu dalam hatinya yang diimbangi dengan
berikhtiar dan bertawakkal.
Pagi itu si Shodik berangkat sekolah dengan sepeda tua
peninggalan ayahnya yang dulu dipakai bekerja ketika ayahnya masih hidup. Tanpa
ada rasa malu sedikitpun dia menikmati sepedanya. Sudah menjadi kebiasaan anak
nakal yang ada di madrasah tersebut, mereka (Bos Bondan dan antek-anteknya si
Bagas dan si Dul) selalu mengejeknya tanpa ada rasa kasihan sedikitpun terhadap
Sodik. Ketiga anak tersebut bersiap-siap mengejek si Sodik yaitu merencanakan
melarang Sodik meletakkan sepeda tuanya di dekat sepeda temannya yang lain.
Sebagaimana biasa anak-anak datang di sekolah dengan bersepeda bersama dan
berjabatan tangan dengan gurunya di pintu gapura madrasah. Saat itu Sodik pun
demikian, ketiga anak nakal yang merencanakan rencana busuknya siap beraksi
setelah melihat si Sodik bersepeda masuk gapura madrasah. Sodik dengan ayunan
santai langsung menuju tempat parkir sepeda dan meletakkan di dekat sepeda
temannya yang lain, namun tanpa diketahui oleh Sodik sebelumnya, ketiga anak
tersebut mendekati Sodik dengan nada
keras melarang Sodik menaruh sepedanya di dekat sepeda yang lain, mereka
menggolingkan sepeda Sodik dengan keras, untung nasib Sodik sepedanya tidak
rusak dan masih bisa dinaiki. Tanpa menjawab sepatah katapun Sodik memindahkan
sepedanya jauh dari sepeda temannya yang lain alias di dekat tempat pembuangan
sampah. Itulah nasib Sodik yang malang, tapi dia selalu sabar dan tabah dalam menghadapinya
dan tak pernah memiliki rasa dendam sedikitpun terhadap teman-temannya yang
biasa mengejeknya.
Tidak selesai di situ teman-teman
Sodik dalam mengejeknya, ketika sampai di kelaspun dia dijegal oleh teman
perempuannya yang bertabia’at kurang baik juga. Akhirnya si Sodik jatuh
tersungkur di lantai, namun Sodik masih tetap bernasib mujur karena tidak
terjadi luka sedikitpun sehingga dia bisa mengikuti pelajaran dengan baik.
Ketika ibu guru masuk ruang kelas
murid-murid menjawab salam dengan kompak
posisi berdiri sebagai tanda rasa hormat terhadap guru. Guru menanyakan sesuatu
terhadap murid “ada apa anak-anak kok ibu dengar dari luar agak gaduh?” anak
perempuan yang menjegal tadi menjawab bahwa si Sodik jatuh dengan ejekan dia
belum sarapan karena memang orang miskin tidak punya sarapan. Padahal dalam
kondisi bagaimanapun Ibu Sodik selalu memperhatikan kesehatan anak-anaknya,
tidak seperti yang diduga oleh kebanyakan orang. Akan tetapi si Sodik tidak
menceritakan keadaan yang sebenarnya terhadap Ibu Guru tersebut.
Pagi itu sebagaimana yang dijanjikan
oleh guru bahwa jam pertama ulangan harian IPA Bab II, Sodik tetap mengikutinya dengan
sungguh-sungguh, pada akhirnya Sodik mendapat
nilai terbaik dan dia berhak mendapat hadiah dari guru. Akan tetapi sayang
sekali ketika jam istirahat dan pada saat anak-anak jajan di kantin , ibu guru
di kantor mengoreksi hasil ulangan Sodik
tidak ikut keluar kelas karena ketika pelajaran berlangsung tadi si
Sodik melihat uang 50 ribuan di kotak pensil si Bondan sehingga terbenak di
dalam hatinya untuk mengambil uang tersebut dan dibelikan mainan untuk adiknya.
Itu adalah wujud rasa kasih sayangnya terhadap adiknya yang memang tidak pernah
dibelikan mainan oleh ibunya, bukan berarti ibunya pelit atau tidak sayang pada
anak-anaknya tapi hal itu dilakukan karena kondisi keluarga yang pas-pasan.
Saat itu Sodik lupa akan nasehat orang tuanya yang selalu mengatakan agar
menjadi anak yang jujur, karena tertutup oleh rasa sayang terhadap adik
satu-satunya. Ternyata apa yang dilakukan si Sodik diketahui oleh pemilik uang
yang diambilnya yaitu si Bondan. Pada saat Sodik mengambil uang tersebut ibu si
Sodik berjualan gorengan di jalanan dengan menggendong anak bungsunya. Ketiga
anak nakal tersebut (Bondan, Sidul, dan Bagas) merencanakan untuk melaporkan
Sodik kepada Kepala Madrasah esuk harinya.
Benar, esuk harinya Sodik diseret
oleh ketiga anak nakal tersebut ke ruang kepala dan melaporkan perilaku Sodik
kepada Kepala Madrasah dan akhirnya Kepala Madrasah menyampaikan hal tersebut
kepada dewan guru dan sepakat memanggil Ibu Sodik untuk menyelesaikan
permasalahannya dan juga sepakat akan mengganti uang Bondan dengan uang kas
madrash karena mengetahui kondisi keluarga Ibu Sodik yang tidak mungkin untuk
mengganti uang Bondan yang telah diambil Sodik untuk beli mainan adiknya.
Pagi itu Ibu Sodik mendapat surat
panggilan dari Kepala Madrasah, Ibu Sodik pun memenuhi panggilan tersebut.
Setelah sampai di Madrasah `Kepala Madrasah menyampaikan permasalahan Sodik
kepada orang tuanya di ruang kepala yang pada akhirnya orang tua Sodik minta
maaf kepada Kepala Madrasah dan
mendo’akan kebaikan untuk Madrasah tersebut.
Itulah makna dari tergoresnya kasih sayang
oleh perilaku kurang baik yang dilakukan karena keterpasaan, karena rasa
sayangnya pada adik satu-satunya dan pada akhirnya Sodik pun menyesali dan
berjanji tidak akan mengulangi perilaku buruk tersebut.
Ide
Cerita : Ihwanul Fatah, S.Ag
Penulis
Cerita : Siti Siyami, S.Ag
Mengetahui Kepala MI Ma’arif Patihan Wetan
Drs. SADIKIN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar